Selasa, 14 April 2009

PERIODISASI SASTRA

Periodisasi Sastra Indonesia
Kesastraan di Indonesia dibagi dalam beberapa periode. Salah satu sastrawan yang membuat periodisasi sastra adalah Rachmat Djoko Pradopo. Periodisasi sastra yang dibuatnya seperti berikut.
1. Periode Angkatan Balai Pustaka (1920)
Jenis sastra yang dihasilkan pada periode ini sebagian besar adalaroman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan Balai Pustaka.
a. Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah, dan peribahasa.
Contoh:
. . . .
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak dapat
ditolak, mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun telah engkau
ketahui untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang
nasibku itu?
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Sitti Nurbaya menggunakan gaya bahasa yang mengandung pepatah.
b. Alur yang digunakan sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, misalnya Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya menggunakan analisis langsung.
Contoh:
. . . .
Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka; anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena
kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula. Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus, tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak seorang yang berbangsa tinggi.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dalam kutipan di atas bentuk fisik Samsulbahri digambarkan secara langsung. d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode orang pertama, misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan
Ka’bah.
Contoh:
. . . .
Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan sehari dua bekerja pada ayahmu.
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

e. Banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair, dan pantun nasihat.
Contoh sisipan pantun:
. . . .
Ke rimba berburu kera,
dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakah daya,
demikian sudah permintaan badan.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

f. Bersifat didaktis. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada pembaca untuk memberi nasihat.
Contoh:
. . . .
Ketahuilah olehmu, Samsul, walaupun di dalam dunia ini dapat kita memperoleh kesenangan, kekayaan, dan kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala kesusahan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan yang bermacam-macam rupa bangunnya tersembunyi pada segala tempat, mengintip kurbannya setiap waktu, siap menerkam, barang yang dekat kepadanya.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Isi kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsulbahri dan pembaca untuk berhati-hati dalam hidup.
g. Bercorak romantis (melarikan diri) dari masalah kehidupan seharihari yang menekan.
Contoh:
. . . .
Aku masuk jadi bala tentara ini bukan karena apa, hanya karena hendak . . .” di situ terhenti Letnan Mas bercakap-cakap sebagai tak dapat ia mengeluarkan perkataannya . . . ” mencari
kematian.”
”Apa katamu?” tanya Van Sta dengan takjub.
”Mencari kematian, kataku,” jawab Mas dengan sedih. Tetapi
sekarang belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya benar kata pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah
Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Letnan Mas atau Samsulbahri berusaha bunuh diri untuk lari dari masalah yang dihadapinya.

h. Permasalahan adat, terutama masalah adat kawin paksa, permaduan, dan sebagainya.
Contoh:
. . . .
”Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa dengan ibu hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan
sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau memulangi Rapiah.Pertama, adalah menurut sepanjang adat, bila engkau memulangi anak mamakmu. Kedua, rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk.
Ketiga, sekolahnya cukup, tamat HIS. Keempat, ia diasuh baikbaik oleh orang tuanya. Lepas dari sekolah ia dipingit, lalu diajar ke dapur, menjahit, dan merenda. Kelima perangainya baik, hati
tulus, dan sabar. Keenam – ah, banyak lagi kebaikannya, Hanafi.
. . . .
Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987

Dari kutipan di atas diketahui masalah kawin paksa yang harus dilakukan oleh tokoh Hanafi.
i. Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat lama, sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern.
Contoh:
. . . .
”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya.
”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.”
”Penat pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah duduk di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja.”
”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau
bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!”
. . . .
Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai
Pustaka, Jakarta, 1987

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa antara tokoh Hanafi dan ibunya terjadi pertentangan paham mengenai letak perabotan yang ada di rumahnya.

j. Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah. Misalnya, novel Sitti Nurbaya memiliki latar tempat di daerah Padang.
k. Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah-berantah.
l. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih bersifat kedaerahan.
Contoh:
. . . .
”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malel dengan senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?”
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi
masih bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut tentang uang
belasting yang terjadi di Padang.
2. Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)
Pada periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar
puisi. Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama sudah
mulai ditulis.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Pujangga Baru.
Puisi
a. Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b. Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c. Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
d. Hubungan antarkalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang
ambigu.
e. Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan
tenteram.
f. Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
Contoh:
Padamu Jua
. . . .
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . . .

Dikutip dari: Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah, Dian Rakyat, Jakarta, 1985

Dari puisi ”Padamu Jua” dapat diketahui bahwa puisi angkatan ini bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya sangat indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi
”Padamu Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada sang kekasih. Dalam puisi ”Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang berupa perbandingan, seperti serupa dara di balik tirai.
Pada puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan persajakan. Persajakan ini dapat dilihat pada setiap baitnya.
Contoh:
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku . . .
Prosa
a. Alurnya lurus.
b. Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung.
Deskripsi fisik sudah sedikit.
Contoh:
. . . .
”Aduh, indah benar.
Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya, sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ”Ya, bagus.” Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Dari kutipan tersebut dapat diketahui watak Maria yang mudah memuji dan watak Tuti yang tidak mudah kagum atau memuji. Watak Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria dan Tuti.
c. Tidak banyak sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d. Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
e. Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa.
f. Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan masalah individu manusia.
g. Bersifat didaktis
Contoh:
. . . .
Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah. ”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian
besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita
yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa salah satu masalah yang ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.
.

3. Periode Angkatan 45 (1940)
Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel, dan drama.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 45.
Puisi
a. Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan (rima).
b. Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa seharihari.
c. Menggunakan kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
d. Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalu peneropongan batin sendiri.
e. Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal). Misalnya, tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi manusia, masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan mencolok antara golongan kaya dan miskin.
f. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.

Contoh:
Aku
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar, Maret 1943

Puisi ”Aku” tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan. Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua terdiri atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi ”Aku” mengekspresikan langsung perasaan penyair. Diksi atau pilihan kata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari. Dalam puisi ”Aku” terdapat kalimat-kalimat ambigu yang menyebabkan banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seribu tahun lagi yang berarti penyair benar-benar ingin hidup sampai seribu tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya diteruskan dari generasi ke generasi walaupun penyair telah meninggal. Hubungan baris dan kalimat pada puisi ”Aku” tidak terlihat, karena tiap-tiap kalimat pada puisi ”Aku” seperti berdiri sendiri. Misalnya, pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan. Namun, secara makna bait 1 dan 2 berhubungan.
Puisi ”Aku” mengekspresikan kehidupan batin manusia yang tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas. Masalah yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia
untuk bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Filsafat eksistensialisme mulai tampak dalam puisi ”Aku”. Dalam puisi ”Aku” penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun dalam keadaan yang terasing dan tersiksa.

Prosa
a. Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus.
b. Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat.
c. Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung, melainkan dengan cara dramatik.
d. Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi manusia oleh manusia.
Contoh:
. . . .
Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990

Dari kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan adalah masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru Isa).
e. Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Misalnya, masalah kesengsaraan karena perang, tidak adanya perikemanusiaan dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutan-ketakutan manusia, impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
Contoh:
. . . .
Isa berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari lagi. Gadis-gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil orang Tionghoa yang luka, tetapi orang-orang menahan. ”Jangan,” kata mereka, ”ubel-ubel itu tidak peduli Palang Merah.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990

Dari kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan dalam perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja tentara-tentara tetap menembaki anggota Palang Merah.
f. Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi untuk memecahkan sesuatu masalah.
Contoh:
. . . .
Guru Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan pada tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . . orang harus belajar hidup dengan ketakutan-ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu . . . . Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990

Dari kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan pikirannya untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.
g. Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan masyarakat sehari-hari.
Contoh:
. . . .
Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa waswas tentang
keselamatan istri dan anaknya.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990
Latar kutipan novel Jalan Tak Ada Ujung menunjukkan latar suasana mencekam karena masih dalam suasana peperangan.

4. Periode Angkatan 50 (1950)
Sesungguhnya ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50 sukar dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.

Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 50.
Puisi
a. Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana.
Misalnya:
Puisi-puisi karya Rendra, seperti ”Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, ”Blues untuk Bonnie”, atau ”Nyanyian Angsa”.
b. Gaya ulangan mulai berkembang.
c. Ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup
yang penuh penderitaan.
d. Mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti, kemiskinan,
pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup.
Contoh:
Blues untuk Bonnie
Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek.
Dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
. . . .
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
lalu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
. . . .
Dikutip dari: Blues untuk Bonnie, Rendra, Pustaka Jaya, Jakarta, 1976

Puisi ”Blues untuk Bonnie” berbentuk balada. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya gaya ulangan, seperti pada baris kelima. Pada baris kelima tersebut kata Georgia diulang.
Puisi ”Blues untuk Bonnie” menggambarkan suasana muram dan penderitaan kaum Negro yang tinggal di gubug-gubug yang bocor.
Masalah yang diungkapkan dalam kutipan puisi di atas adalah masalah kemiskinan yang dihadapi oleh seorang penyanyi Negro tua.
Prosa
a. Tidak terdapat sisipan cerita sehingga alurnya padat.
b. Cerita perang mulai berkurang.
c. Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d. Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap.
e. Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.

Periode Angkatan 1970
Dalam periode ini mulai berkembang sastra pop dan novel pop.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Angkatan 1970.
Puisi
a. Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
b. Mempergunakan teknik pengungkapan ide secara sederhana,
dengan kalimat-kalimat biasa atau sederhana.
c. Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
d. Menuntut hak-hak asasi manusia misalnya: kebebasan, hidup
merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, dan bebas dari pencemaran kehidupan modern.
e. Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan.
Contoh:
Solitude
`Oleh: Sutardji Calzoum Bachri
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
kau!
Sumber: Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo, Gramedia, Jakarta, 2002

Pada puisi ”Solitude” kata yang paling diulang-ulang. Puisi ”Solitude” menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sederhana. Puisi ”Solitude” menunjukkan kesepian hati penyair. Penyair merasa bahwa Tuhanlah segala-galanya dan ditunjukkan dengan kalimat: samping yang paling
Kau! Kata Kau! pada puisi ”Solitude” mengacu kepada Tuhan.
Prosa
a. Alur berbelit-belit.
b. Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.
Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan. Pada dirinya sendiri.”
. . . .
Dikutip dari: Ziarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa novel Ziarah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh utama dengan sebutan ”dia”.
c. Mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu, bukan sebagai makhluk komunal.

Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
Dikutip dari: Ziarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi manusia sebagai makhluk individu yang hanya menghargai keberadaan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kalimat pada dirinya sendiri.
d. Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
e. Mengedepankan warna lokal (subkultur), latar belakang kebudayaan lokal.
f. Mengemukakan tuntutan atas hak-hak asasi manusia untuk bebas dari kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain atau oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Sumber: Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
Rachmat Djoko Pradopo, 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

6. Periode Angkatan 2000
Pada dasarnya, terbentuknya sebuah angkatan sastra harus memenuhi dua syarat. Pertama, adanya sekelompok sastrawan yang menjadi pendukung angkatan sastra tersebut. Kedua, adanya karya sastra yang inovatif, spesifik, kreatif, inspiratif, dan mengandung pergeseran pemikiran dengan cara mengungkapkan pemikiranpemikiran baru dan pendirian-pendirian baru dengan bentuk yang berbeda dari angkatan sebelumnya sehingga melahirkan wawasan estetik yang baru.
Perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir adalah keberagaman gaya dan tema sebagai ciri khas Angkatan 2000. Ciriciri yang lain adanya pembaruan estetik, muatan tematik, karakter
yang spesifik. Secara umum ”Sastra Angkatan 2000” menampakkan makna yang sangat berharga sebagai sumbangan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bukti bahwa sastra Indonesia dinamik dan terus berkembang dan konsisten membela hak-hak masyarakat meskipun ditekan oleh kebijakan penguasa yang hampir tidak mendukung kehidupan berkesusastraan yang kondusif.
Dalam mainstream perpuisian angkatan ini, puncak pencapaian secara monolit terdapat dalam bahasa dan pengucapan Afrizal Malna. Sebagai pemimpin literer puisi dan pemikiran sastra angkatan ini, Afrizal melahirkan pembaruan yang merupakan wujud wawasan estetik Angkatan 2000. Pergeseran wawasan estetik ditandai berubahnya struktur larik dan bait. Larik pada Afrizal Malna bersifat netral karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak dapat dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Larik sama fungsi dan kedudukannya dengan bait karena larik tersebut merupakan bait. Dengan revolusi tipografi tersebut, Afrizal mengubah arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga akhir bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.
Pembaruan juga terdapat pada pilihan dan kedudukan kata yang membawa pergeseran pada penempatan lirikus dari ”aku lirik” lepada ”benda-benda”. Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari estetik. Aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat dengan kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa memberi maknawiutuh seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan kedudukan benda-benda.
Contoh:
”Lalu bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling foam, dan pil strong of night: Indonesia Raya! Sumpah Pemuda! Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih . . . .” (Kisah Cinta Tak Bersalah)

Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwaperistiwa tertentu dari interaksi massal. Estetik massal ini merupakan
penemuan Afrizal yang unik dan menunjukkan bahwa sumber keindahan itu memang berada di tengah massa.
Selain itu, estetik religiusitas dapat ditemukan pada karya Ahmadun Yosi Herfanda. Sajak-sajak tersebut mencerminkan nuansa religius yang khusuk dan teduh. Hubungan transendental antara umat dan khalik dibina dalam peleburan dan peluluhan yang menyatu secara imanen.
Pembaruan dalam prosa terlihat pada pembaruan Seno Gumira Ajidarma yang tampak dari pilihan terhadap model sastra lisan yang mengembalikan realitas fiktif kepada realitas dongeng. Seno
memaparkan sifat fiksional dalam tragedi yang diselubungi dunia dongeng. Tokoh-tokoh dibangun dari kenyataan sehari-hari tentang orang sehari-hari yang dijalin dari peristiwa sehari-hari. Meskipun realitas yang dibangun kadang surealistik dan absurd, tokoh-tokoh itu terasa realistis karena dibangun dari kenyataan-kenyataan faktual.
Wacana bangunan kisah yang menggunakan pola dongeng memperlihatkan kuatnya unsur lisan guna membingkai ide-ide genial yang menjadi muatan cerita. Dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius (1993) ia memulai cerpennya dengan pembukaan yang relatif sama, mirip awal dongeng kanak-kanak.

Contoh:
”Ceritakanlah padaku tentang ketakutan” kata Alina pada juru cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:
Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletak mayat bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting (”Bunyi Hujan di Atas Genting”).
M. Shoim Anwar menulis kegetiran sosial secara lebih mengenaskan, misalnya yang dinyatakan lewat ”Pot dalam Otak Kepala Desa” (1995). Dengan narasi yang keras Shoim memperlihatkan perlawanan yang sia-sia meskipun kadang memunculkan konvensi hero, seperti yang dilakukan juga oleh Yanusa Nugroho dengan kisah-kisah dari dunia wayang dan dunia supranatural. Kelucuan, kekerasan, dan absurditas merupakan pilihan narasi fiksional angkatan ini dengan
geraian ungkap metaforis dan alegoris. Dengan menekankan segi-segi eksistensi, Bre Redana melahirkan percikan romantik. Percikan itu pada karya Kurnia J.R. diberi tempat dari peristiwa-peristiwa kasar yang menandai adanya perbedaan hakiki antara derajat karakter dan derajat rohani setiap individu. Pada karya Agus Noor derajat itu lebih dalam memasuki kegilaan atau irasionalitas yang dibangun dari peristiwa-peristiwa sensasional. Dalam tataran yang lebih membumi
tampak pada karya-karya Mona Sylviana, Nenden Lilis A., Arie MP Tamba, Jujur Prananto, Palti R. Tamba, Tanti R. Skober, dan lain-lain.
Segi lain pembaruan angkatan ini adalah munculnya secara kuat arus narasi kehilangan. Dalam fiksi-fiksi Rainy Mp. Hutabarat kehilangan itu bersifat budaya yang tergerus modernisasi. Pada karya Radhar Panca Dahana kehilangan itu mencerminkan rusaknya masa silam
karena faktor-faktor moral dan runtuhnya perikatan sosial. Pada karya Joni Ariadinata kehilangan itu bersifat dehumanisasi yang dilahirkan oleh kepelikan sosial. Hubungan kemanusiaan hanya terjalin dalam tataran badani dan kadang lebih rendah dari sifat hewani. Muncul pertalian naluriah yang memungkinkan kehidupan daging lebih
penting dari kehidupan moral karena sebenarnya kemuliaan hanya mampu ditemukan di dalam segala yang kumuh.
Pembaruan fiksional novel dilakukan oleh Ayu Utami dengan novel Saman (1998) yang mencirikan teknik-teknik khas sehingga mampu melahirkan wawasan estetik baru. Pembaruan itu tampak dari pola kolase yang meninggalkan berbagai warna yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetik menonjolkan kekuatankekuatan literer. Sifat kolase itu menempatkan segi-segi kompositoris dengan wacana gabungan fiksional esai dan puisi. Sebagai komposisi,
nada-nada yang dibangun merujuk kepada irama yang diseleksi dari kejadian dan tokoh. Peristiwa melahirkan latar dan atmosfer yang memberi perkuatan pada kehadiran kisah. Cerita mempertalikan tokoh dan tokoh mencirikan kejadian dan karakter. Penggunaan tokoh berhubungan dengan sebutan yang disesuaikan dengan atmosfer cerita, sehingga sebutan itu kadang berganti-ganti antara akuan, orang kedua, atau narator. Dengan pola seperti itu, kebebasan tokoh
dan pengarang sejajar untuk menemukan ruang-ruang estetik yang pas. Pada cuplikan berikut, tampak perubahan kedudukan tokoh secara drastis, yaitu perubahan dari orang ketiga tunggal (ia) lepada orang pertama tunggal (aku).
”Ia terbangun dan merasa dirinya sebesar kepala. Hanya kepala tanpa badan. Dia tidak eksis di luar kepalanya. Tak ada jari-jari, tak ada jantung. Lindap. Warna malam ataukah aku berada dalam rahim?”
Komposisi yang dibangun secara unik itu melahirkan perkaitan plot yang menautkan hubungan-hubungan simultan antartokoh. Komposisi memperkaya plot dan plot menghidupkan tokoh-tokoh di dalam aktivitas dan aksi keseharian. Tokoh-tokoh itu bereksistensi di dalam ruang latar yang spesifik karena dibangun oleh wacana yang dinapasi oleh kekuatan narasi dan dramatisasi yang elastis dan dinamik. Plot yang tidak linier dibangun dalam susunan yang saling mengisi antara arus realistik dengan stream of consciousness dan saling menunjang penokohan dan karakter tokoh. Lompatan-lompatan plot dan lompatan-lompatan peristiwa menegaskan konsep persambungan dan gabungan kronik-kronikliterer dan cerpen menjadi rangkaian fiksi novel yang
menunjukkan bahwa novel merupakan imitasi autobiografi. pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang mendapatkan tafsiran kreatif. Meskipun menampilkan keliaran dan keterbukaan yang
memberi ruang kemerdekaan sangat luas, fiksi ini sebenarnya menggagas dan menyodorkan realisme moral secara gembira. Belenggu, Bumi Manusia, dan Rafilus menyajikan nuansa muram kehidupan sehingga wacananya membawa kengerian atau melankoli, Saman menyodorkan liberalisasi yang menempatkan ruang keriangan di tengah kesumpekan pergaulan hidup real sehari-hari.
Sumber: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan, 2000, Jakarta: Grasindo

Tidak ada komentar: